Alih
fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah
seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir,
kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat
dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang
dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem
pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang
timbul akibat adanya alih fungsi lahan tersebut dan sekaligus untuk mengatasi
masalah ketersediaan pangan.
Konsepsi
“agroforestry” dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development
Centre, yang bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas pembangunan
di bidang kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim
ini dilaporkan bahwa hutan-hutan di negara tersebut belum cukup dimanfaatkan.
Penelitian yang dilakukan di bidang kehutanan pun sebagian besar hanya
ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu eksploitasi secara selektif di
hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas.
Agroforestri
diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi,
melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan
intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah dipraktekan oleh
petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad, Dalam Bahasa
Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri
yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta
dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu
sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem
agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam
secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan
bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak
dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan
sehingga membentuk lorong/pagar.
Jenis-jenis
pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi
misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, petai,
jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan
kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu
padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayursayuran dan
rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Sistem
agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan
banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang
tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola
tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat
beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman
musiman dan rerumputan dalam jumlah besar. Ciri utama dari sistem agroforestri
kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan
ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu
sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforestri (Icraf dalam Hairiah et al.
2003).
Ruang Lingkup Agroforestri
Pada
dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan,
pertanian dan peternakan (Hairiah et al, 2003). Penggabungan tiga komponen yang
termasuk dalam agroforestri adalah:
•
Agrisilvikultur = Kombinasi antara
komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan
komponen pertanian.
•
Silvopastura = Kombinasi antara komponen atau kegiatan
kehutanan dengan peternakan
•
Agrosilvopastura = Kombinasi antara
komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan
Di
samping ketiga kombinasi tersebut, Nair (1987) menambah sistem-sistem lainnya
yang dapat dikategorikan sebagai agroforestri. Beberapa contoh yang menggambarkan
sistem lebih spesifik yaitu:
•
Silvofishery = kombinasi antara komponen
atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.
•
Apiculture = budidaya lebah atau serangga
yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan.
Tujuan
akhir program agroforestri adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat petani,
terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif
masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan
memeliharanya. Program-program agroforestri diarahkan pada peningkatan dan
pelestarian produktivitas sumberdaya, yang akhirnya meningkatkan taraf hidup
masyarakat (Anonim 1992).
Sistem Agroforestri Rehabilitasi Dan
Perlindungan Lingkungan Peningkatan Produktivitas Lahan Perbaikan Sosial
Ekonomi
Peningkatan
Produktivitas Lahan Dengan Sistem Agroforestri 4 Tujuan tersebut diharapkan
dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai
komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau
interaksi antara komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya. Dalam kaitan
ini ada beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan
lainnya, yaitu dalam hal:
1.
Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk
total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada
monokultur (penanaman satu jenis). Adanya tanaman campuran memberikan
keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup
oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
2.
Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada
sistem agroforestri menghasilkan diversitas (keragaman) yang tinggi, baik menyangkut produk maupun
jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat
fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan
kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada penanaman satu jenis (monokultur).
3.
Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan
sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk produk luar.
Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan
banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih
tinggi daripada sistem monokultur
4.
Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas
yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan,
sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.
Share it to your friends..!
Posting Komentar