Keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Semua itu harus berdampingan
dengan tujuan untuk menghasilkan keharmonisan. Itulah falsafah dari kebudayaan Jawa. Semua unsur harus saling mendukung
karena sesungguhnya unsur-unsur tersebut juga saling membutuhkan.
Zaman boleh berkembang, namun tiga unsur utama tersebut harus selalu ada.
Unsur itu harus bersatu padu pada setiap lini kehidupan. Tanpa adanya
keseimbangan, keselarasan menjadi kurang pas dan keserasian akan terlihat
kontras dan kurang pas.
Budaya ini telah mengakar di kehidupan masyarakat Jawa sejak zaman dahulu.
Meski Islam telah masuk ke pulau Jawa mulai abad ke 13, keberadaan Islam
ternyata tidak mengganggu budaya asli Jawa. Masih banyak orang Jawa yang ‘nJawani’
atau benar-benar mengikuti setiap langkah menjadi orang Jawa sejati dalam
totalitas yang terkadang tak bisa dipahami oleh orang-orang yang berasal dari
daerah lain dengan budaya yang berbeda.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena tiga unsur utama dalam budaya Jawa
tersebut memang bersifat elastis sehingga bisa dengan mudah bisa menyatu dengan
Agama Islam. Hal inilah yang terlihat seperti Islam abangan. Orang Jawa yang
mengaku memeluk agama Islam tetapi masih menjalankan semua tradisi dan
nilai-nilai budaya yang melekat pada kebudayaan Jawa itu sendiri. Ada yang
berpendapat bahwa Islam abangan ini belum Islam karena masih bercampur dengan
aktivitas yang dihukumi sebagai kesyirikan.
Budaya Jawa telah berkembang sejak zaman pra sejarah. Tumpuan utamanya berdasar
pada kepercayaan animisme dan dinamisme. Masyarakat Jawa mempercayai adanya
suatu kekuatan ghaib yang bisa dimintai tolong untuk menyelesaikan masalah
rohani dan duniawi di kehidupan mereka. Tidak mengherankan kalau orang Jawa
masih menjalankan ‘laku’. ‘Laku’ ini sendiri berupa aktivitas seperti puasa
putih selama beberapa waktu. Puasa putih atau puasa ‘mutih’ dipercaya akan
memberikan kekuatan batin dan kekuatan jiwa bagi yang melakoninya.
Bertapa dan memberi sesajen di tempat-tempat yang dikramatkan juga masih
dijalankan oleh orang-orang yang percaya. Semua kebiasaan itu membuat
masyarakat Jawa menyakini bahwa harus ada yang melakukannya agar keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan hidup tercipta dengan harmonis. Bagi orang Jawa
yang telah menganut Islam secara menyeluruh dan juga telah belajar tentang
Islam, mereka tidak akan mencampuradukan semua unsur kebudayaan Jawa yang
dianggap mendekati kesyirikan dengan ritual keislamannya.
Masyarakat Jawa juga percaya selain manusia, di dunia ada suatu kehidupan
lain yang kasat mata. Hal ini bisa dibuktikan dengan ditemukannya
bangunan-bangunan kuno yang berfungsi untuk mengadakan semacam upacara religi
dengan tujuan untuk memuja roh atau dewa yang menguasai jagad raya beserta
isinya.
Pada zaman Hindu dan Budha, bisa dilihat bukti lain yang sampai saat ini
masih bisa dilihat. Yaitu adanya candi Borobudur dan Prambanan serta
candi-candi lain yang tersebar di penjuru pulau Jawa. Hal ini menunjukan adanya
suatu keinginan dari masyarakat Jawa agar dapat selalu menjalin hubungan dengan
Sang Penguasa Alam secara langsung.
Maka ketika Islam datang kepada mereka, masyarakat Jawa bisa
menerimanya tanpa mengalami benturan apa pun juga alias bisa berkembang secara
damai. Islam berusaha merangkul kebudayaan Jawa tetapi tidak budaya yang
mengandung kesyirikan. Apalagi ketika mulai muncul kerajaan Islam pertama di
Jawa, yaitu kerajaan Demak. Perkembangan islam dan perkembangan kebudayan Jawa
bisa beriring. Kalau pun ada kesalahpahaman, semua pemeluk agama berusaha
mengambil jalan tengah tanpa merugikan nilai-nilai akidah yang diyakini oleh
kedua belah pihak.
Pada zaman ini terjadi proses pengalihan dari keyakinan animisme-dinamisme
serta Hindu-Budha menuju pada kepercayaan Islam. Pandangan hidup yang
sebelumnya bersifat mistis berangsur-angsur menjadi pandangan spiritual
tasawuf. Laku prihatin, diganti dengan puasa Nabi Daud. Tata cara puasa sama,
yaitu berbuka, lalu puasa, dan berbuka ketika maghrib datang. Yang membedakan
adalah niat yang tercetus dalam hati. Niat ini juga yang membedakan semua
aktivitas yang dilakukan oleh seorang muslim dengan aktivitas yang dilakukan
oleh nonmuslim. Niat jua yang membuat perbuatan dipandang sebagai ibadah oleh
Allah Swt.
Demikianlah keunikan dari hubungan Islam dan kebudayaan Jawa.
Dalam lingkungan tradisi Jawa, telah terjadi penggabungan secara alamiah antara
tradisi yang lama dengan pola ajaran Islam yang notabene merupakan budaya baru.
Kebudayaan lama tidak mati karena kedatangan Islam. Namun malah sebaliknya,
kebudayaan Jawa makin berkembang.
Tarian-tarian baru tercipta dengan penyesuaian-penyesuaian yang referensi
ajaran Islam. Pakaian yang tadinya sangat terbuka, sekarang mulai banyak yang
tertutup. Makanan yang tadinya disembelih dengan berbagai macam cara asalkan
sang hewan mati, kini dilakukan dengan tata cara Islam. Kemampuan adaptasi
orang Jawa terhadap perkembangan zaman memang tak perlu diragukan lagi.
Kerendahan hati mereka cukup mengagumkan.
Lalu bagaimana hubungan kebudayaan Jawa dengan Islam pada masa sekarang
ini? Seperti telah diuraikan sebelumnya, bila hubungan antara Islam dan
kebudayaan Jawa itu punya keunikan tersendiri. Demikian pula saat ini. Keunikan
yang muncul sekarang adalah munculnya kegairahan para pemeluk agama Islam di
Jawa untuk memantapkan keislamannya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban
ibadah mereka secara lebih sempurna.
Misalnya, shalat lima waktu, puasa dan seterusnya. Namun, di lain pihak
mereka tidak pernah meninggalkan tradisi-tradisi Jawa yang telah dianut
sebelumnya. Contoh yang paling nyata adalah dalam upacara pernikahan. Berbagai
ritual mulai dari siraman, sungkeman, midodareni, dan pecah telor, tetap
dilakukan. Pada saat kandungan menginjak usia tujuh bulan, orang Jawa yang
masih memegang tradisi juga berusaha melaksanakan tujuh bulanan. Bagi yang
diberi rezeki berlimpah, acara tujuh bulanan ini akan dibuat cukup meriah
dengan berbagai aktivitas termasuk ketika sang calon ibu berjualan cendol atau
ketika sang ayah membelah kelapa.
Ketika bayi telah lahir, ada juga upacara penyambutan bayi dan upacara
ketika bayi telah bisa berjalan. Rangkaian upacara itu tidak ada dalam Islam.
Walau begitu, masyarakat Jawa tetap melakukannya. Bagi pemeluk agama Islam,
mereka tidak lupa mengundang kelompok pengajian dan memulai acara dengan tata
cara Islam, mulai dari membaca basmalah hingga pembacaan ayat suci al-Qur’an
dan siraman rohani yang diberikan oleh seorang ustadz atau sesorang yang
diyakini mampu memberikan ceramah sepatah dua kata.
Pada umumnya masyarakat Jawa yang beragama Islam mengesahkan hubungan suatu
pernikahan dengan tata cara agama Islam pula. Namun untuk penentuan hari dan
waktunya selalu mengikuti perhitungan tradisional yang penuh nuansa kekentalan
budaya Jawa.
Kebudayaan Jawa yang cukup banyak itu terus diupayakan tetap lestari. Masyarakat
Jawa yang ada di kota-kota seperti Jakarta atau kota-kota besar lainnya sangat
antusias menghadiri satu upacara yang mengikutkan berbagai ritual dalam budaya
Jawa. Bagi mereka, hal tersebut membuatnya bisa melepaskan kerinduan kepada
sanak saudara yang berada di tanah Jawa.
Kebudayaan Jawa selalu mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan
keserasian. Agama Islam bisa diterima masyarakat Jawa karena juga dinilai
mengandung tiga unsur penting itu. Sejak zaman dahulu sampai sekarang mereka
selalu mengaktualisasikan antara Islam yang menjadi agamanya serta budaya Jawa
secara harmonis dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Generasi muda Jawa yang tidak tinggal lagi di Jawa biasanya masih tahu
sedikit tentang adat Jawa. Mereka masih juga memasyarakatkan budaya Jawa.
Seperti di kota Palembang. Masyarakat Jawa yang tergabung dalam ikatan Putra
Jawa Kelahiran Sumatera atau yang dikenal dengan singkatan Pujakusuma sering
kali mengadakan kesenian gamelan atau bahkan wayang semalam suntuk persis
seperti yang dilakukan masyarakat Jawa yang tinggal di daerah Jawa.
Kesenian kuda lumping dan ketoprak juga masih ada di kota-kota besar di
mana masyarakat Jawanya cukup banyak dan mereka telah membentuk komunitas
tersendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa kerinduan yang mendalam dengan tanah
nenek monyangnya, telah membuat orang Jawa di rantauan mencoba memasyarakatkan
kebudayaan Jawa.
Memang akan sangat disayangkan kalau sampai generasi muda Jawa tidak
menegnal kebudayaan Jawa. Kalau untuk bahasa Jawa, di Jawa sendiri banyak
anak-anak yang tak mampu berbahasa Jawa dengan baik dan benar terutama untuk
bahasa Jawa sangat halus. Hal ini cukup memprihatinkan. Tetapi, kesulitan
mempelajari bahasa Jawa memang menjadi salah satu kendala tersendiri.
Share it to your friends..!
Posting Komentar